oleh: Imam Nazarudin
Rumah tradisional memiliki pengertian sebagai suatu bangunan yang
mempunyai struktur, cara pembuatan, bentuk, fungsi, dan ragam hiasnya memilki
ciri khas tersendiri, yang diwariskan secara turun - temurun, serta dapat
dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan aktivitas kehidupan
dengan sebaik-baiknya (Said, 2004: 47). Kata ”tradisi” mengandung arti
suatu kebiasan yang dilakukan dengan cara yang sama oleh beberapa generasi
tanpa atau sedikit sekali mengalami perubahan-perubahan1. Dengan
kata lain, tradisi berarti suatu
kebiasaan yang sudah menjadi adat dan membudaya. Dengan demikian, istilah
”rumah tradisional” dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dan digunakan
dengan cara yang sama sejak beberapa generasi. Istilah lain untuk membedakan
rumah tradisonal dengan rumah biasa, adalah rumah
adat atau rumah asli atau rumah rakyat (Said, 2004: 48).
Bagi masyarakat tradisional, rumah dibangun/didirikan, dihuni, dan
dipergunakan, bukan sekedar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang hanya
mempertimbangkan segi kegunaan praktis, seperti untuk tidur, bekerja, dan
membina keluarga. Bagi mereka rumah merupakan ungkapan alam khayal dalam wujud nyata yang mewakili alam semesta, serta adanya bayangan dan mitos terhadap sesuatu
(dewa-dewa) yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang mengatur alam ini sudah
meliputi alam pikirannya. Oleh karena itu, membangun sebuah rumah berarti
menciptakan sebuah ”alam kecil” di alam semesta, sehingga dianggap memulai
hidup baru (Said, 2004: 49).
Uraian di atas menunjukkan
pentingnya arti rumah bagi suatu masyarakat. Dengan kata lain, rumah bukan
sekedar hasil budaya jasmani/bendawi saja, tetapi juga berhubungan dengan
berbagai pengetahuan tentang teknik, politik, sosial, ekonomi, kepercayaan,
hukum, politik, aspek kejiwaan, sejarah, dan aspek-aspek pengetahuan lainnya
(Soekiman, 1986: 6). Singkatnya, pengetahuan tentang rumah mencakup suatu
pengertian yang membutuhkan pemahaman secara luas dan mendalam.
Pada masyarakat Kudus rumah
merupakan salah satu dari hasil kebudayaan materi yang dihasilkan dari proses
panjang kebudayaan masyarakat tersebut. Keberadaan rumah tradisional di Kudus
memiliki keberagaman, yaitu rumah Pencu
dan rumah Payon (rumah Payon Limasan Maligi Gajah dan rumah Payon Kampung)2.
Persebaran rumah Pencu yang terdapat di Kudus tersebar di
wilayah Kudus Kulon dan Kudus Wetan3. Di Kudus Kulon kondisi
eksisting rumah Pencu sekarang ini
masih bisa dijumpai dengan jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan
kondisi eksisting rumah Pencu di
daerah Kudus Wetan. Adanya perbedaan jumlah yang sangat signifikan tersebut
sangat erat kaitannya dengan perkembangan lingkungan dan tata ruang dikedua
wilayah tersebut. Di Kudus Kulon kondisi lingkungannya relatif tidak banyak
mengalami perubahan dari tahun ke tahun, sedangkan di Kudus Wetan perubahan
lingkungannya begitu pesat.
Tritisan dan gebyok pembatas dengan ruang jogosatru yang terdapat di rumah Pencu |
Di wilayah Kudus Kulon inilah terdapat puluhan rumah Pencu yang masih bisa dijumpai keberadaannya. Sedangkan
keberadaanya di wilayah Kudus Wetan relatif sedikit jika dibandingkan dengan
daerah Kudus Kulon.
Rumah Pencu merupakan salah
satu bagian dari hasil budaya materi yang berasal dari masyarakat Kudus pada
masa lalu. Identitas mengenai tingkat budaya masyarakatnya tercermin melalui arsitektur,
ragam hias serta konsepsi yang melatarbelakangi rumah tersebut.
Masyarakat Kudus memiliki cara tersendiri dalam merawat rumah tinggalnya
yang berupa rumah kayu tersebut dari beberapa generasi yang lampau. Kearifan
lokal tersebut terihat dari bagaimana masyarakat Kudus mengkonservasi rumah Pencu yang berbahan utama kayu dengan
ramuan tradisional dari leluhur mereka.
Rumah tradisional Jawa memilki jangka waktu yang sangat panjang dalam
perjalanan konstruksi bangunannya, hal ini terkait dengan perhitungan yang yang
sangat tepat terhadap kemungkinan kerusakan yang bisa terjadi pada rumah
tersebut. Faktor lingkungan dan alam beripa cuaca, binatang (serangga),
tumbuhan lumut, dan zat pembusuk merupakan potensi yang sangat kuat dalam
bertahannya rumah tradisional. Masyarakat Jawa membiasakan diri melindungi kayu
dari dengan menempatkannya di dalam atau di bawah atap, sehingga terhindar dari
hujan dan panas secara bergantian, namun dengan kondisi yang tetap kering.
Untuk menjaga agar kondisi tetap dalam keadaan kering dan terjaga dari
kelembaban maka bahan bangunan yang
terbuat dari kayu ditempatkan sedemikian rupa sehingga tetap mendapatkan
hembusan angin dengan bebas (Ronald, 1990: 605)
Terhadap pengaruh cuaca, terdapat upaya yang dilakuakan oleh masyarakat
tradisional Jawa dalam melakukan pengawetan secara alamiah yaitu dengan
merendam bahan-bahan bagunan (kayu) terlebih dahulu ke dalam air kolam atau
sungai. Proses perendaman tersebut merupakan proses yang dilakukan secara
organik. Serangga memilki peran yang cukup besar dalam proses kerusakan rumah
yang terbuat dari bahan kayu, kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan serangga
tersebut berupa luka penggerakan yang dapat merusak permukaan bahan atau bagian
dalam bahan bangunan. Akibat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga
tersebut akan memperlemah daya dukung bahan terhadap beban. Pengawetan terhadap
kerusakan yang disebabkan oleh serangga juga banyak dilakukan dengan proses
organik, yang dapat memperkecil kemungkinan kerusakannya (Ronald, 1990: 257).
Pada rumah tradisional Kudus khususnya rumah Pencu, perawatan terhadap komponen bangunan yang sebagian besar
terbuat dari bahan kayu sangat diperhatikan. Terdapat beberap tahapan dalam
prosesi perawatan dalam rumah tradsional tersebut. Sedangkan dalam masyarakat
Kudus Kulon telah terdapat sebuah profesi yang memang khusus dalam penanganan
perawatan rumah kayu dan ukir.
Proses perawatan rumah Pencu
ataupun rumah tradisional pada dasarnya memiliki kesamaan. Proses perawatan
rumah Pencu dilakukan oleh masyarakat
pemiliknya sendiri dengan cara tradisional dan turun-temurun dari generasi ke
generasi. Proses perawatan rumah tersebut menggunakan beberapa ramuan
tradisional yang biasa terdapat di lingkungan sekitar rumah atau wilayah Kudus
Kulon. Beberapa ramuan yang dipergunakan dalam perawatan rumah Pencu adalah rendaman pelepah pisang
atau lebih dikenal dengan sebutan air pelepah pohon pisang dan tembakau (APT),
air merang, dan air rendaman cengkeh (ARC).
Proses perendaman ramuan tersebut berbeda-beda waktunya dan yang paling
singkat adalah rendaman air merang dan air pelepah daun pisang-tembakau yang
rata-rata memakan waktu sekitar 7 hari, sedangkan rendaman air cengkeh lebih
dari 7 hari. Proses pencucian rumah berlangsung bisa berlangsung 2 bulan atau
lebih, hal ini disebakna oleh tingkat kemampuan ekonomis setiap pemiliki rumah
dalam memperkerjakan ahli perawatan rumah Pencu. Menurut bapak Sariyon, salah
satu orang yang berprofesi dalam merawat atau mencuci rumah tradional Kudus
atau rumah Pencu, hanya orang-orang tertentulah yang bisa mencuci rumah
Pencunya, dan biasanya setiap tahun berlangsung dua kali proses pencuciaannya.
Penggunaan ramuan tersebut terbukti efisien dan efektif mampu mengawetkan kayu
jati, bahan dasar Rumah Adat Kudus, dari serangan rayap (termite) dan sekaligus
meningkatkan pamor dan permukaan kayu menjadi lebih bersih, karena ramuan APT
dan ARC dioleskan berulang-ulang ke permukaan dan komponen-komponen bangunan
kayu jati.
Bertahannya rumah Pencu sampai
sekarang ini tidak terlepas dari adanya proses kesinambungan budaya dalam
pelestariaanya. Hal ini tidak terlepas dari adanya kearifan lokal yang dimiliki
oleh masyarakat pendukung dari budaya material tersebut. Kearifan lokal atau sering disebut dengan local
wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya
(kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi dalam ruang tertentu. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang
eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama
masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama
(E. Tiezzi, N. Marchettini,dan M.Rossini, yang terdapat dalam http://library.witpress.com/pages/paperinfo.asp). Kesinambungan
budaya tersebutlah yang menciptakan
adanya tatanan dan cara tersendiri dalam upaya melestarikan rumah
tradisional Kudus (rumah Pencu) dengan konservasi berdasarkan kearifan lokal
yang dimiliki oleh masyarakat Kudus Kulon.
Kearifan lokal dalam segi konservasi rumah yang dimiliki oleh masyarakat
Kudus Kulon merupakan satu kesatuan atau keseluruhan dari aspek teknomik, sosioteknik,
dan idioteknik dari Rumah Pencu yang
terbentuk sebagai akibat endapan evolusi kebudayaan manusia yang mengalami proses
akulturasi secara terus menerus dan terbentuk karena perkembangan daya cipta
masyarakat pendukungnya. Hasilnya adalah sebuah arsitektur rumah tinggal yang
sangat megah, indah, sarat dengan makna dan nilai-nilai sosio-kultural.yang
tidak terdapat di daerah-daerah lain di Indonesia. Arsitekturnya merupakan
sebuah bagian dari adanya proses percampuran kebudayaan, dan berhasil
menghadirkan warna khas suatu rumah tradisional.
_________________________________________________________________________________
1.
Tradisi memiliki
pengertian adat kebiasaan (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat. Tradisi juga dapat diartikan sebagai penilaian atau anggapan bahwa
cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (KBBI Daring
2008).
2.
Rumah tradisional
di Kudus
a.
Rumah Pencu
Bentuk
bangunan rumah ini adalah beratap Pencu
dengan tritisan yang berada di depan
dan pelakang yang lebar. Merupakan bangunan yang termasuk dalam tipe Joglo
yaitu Joglo Kepuhan sub tipe Joglo Kepuhan Limolasan. Pembagian ruang
dalam rumah tradisonal Pencu adalah
sebagai berikut, jogosatru, senthong,
gedongan, pawon, pakiwan (kamar
mandi).
a.
Rumah Payon
Rumah
Payon merupakan rumah tradisional
masyarakat Kudus yang berasal dari strata sosial menengah sampai bawah. Secara
arsitektural rumah Payon cukup
berbeda dengan rumah Pencu, hal ini
dikarenakan tidak terdapat adanya ukiran yang
raya seperti yang terdapat di rumah Pencu.
Pembagian tata ruang pada rumah Payon
sama dengan yang terdapat pada tata ruang rumah Pencu yaitu terdapat jogosatru,
senthong, gedongan, pawon, pakiwan
(kamar mandi). Di dalam perkembangannya rumah Payon terbagi menjadi dua tipologi atap bangunan, yaitu :
-
Rumah Payon
Limasan Maligi Gajah
Rumah
tradisional beratapkan limasan yang bertipe Limasan
Maligi Gajah. yang merupakan rumah dari golongan menengah.
-
Rumah Payon Kampung
Bentuk
rumah kampung/payon adalah bertipe atap kampung.
Rumah tersebut merupakan rumah yang berasal dari golongan menengah ke bawah.
Kepustakaan
:
Said, Abdul Azis. 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan Perubahan
Aplikasinya Pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukung di Jawa.
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Ronald, Arya. 1990. Ciri-ciri
Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.