Rabu, 01 Januari 2014

Kearifan Lokal Masyarakat Kudus Kulon Dalam Tradisi Perawatan Rumah Pencu


oleh: Imam Nazarudin
Rumah Pencu, salah satu rumah tradisional yang terdapat di Kudus
Rumah tradisional memiliki pengertian sebagai suatu bangunan yang mempunyai struktur, cara pembuatan, bentuk, fungsi, dan ragam hiasnya memilki ciri khas tersendiri, yang diwariskan secara turun - temurun, serta dapat dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya (Said, 2004: 47). Kata ”tradisi” mengandung arti suatu kebiasan yang dilakukan dengan cara yang sama oleh beberapa generasi tanpa atau sedikit sekali mengalami perubahan-perubahan1. Dengan kata lain, tradisi berarti suatu kebiasaan yang sudah menjadi adat dan membudaya. Dengan demikian, istilah ”rumah tradisional” dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dan digunakan dengan cara yang sama sejak beberapa generasi. Istilah lain untuk membedakan rumah tradisonal dengan rumah biasa, adalah rumah adat atau rumah asli atau rumah rakyat (Said, 2004: 48).
Bagi masyarakat tradisional, rumah dibangun/didirikan, dihuni, dan dipergunakan, bukan sekedar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang hanya mempertimbangkan segi kegunaan praktis, seperti untuk tidur, bekerja, dan membina keluarga. Bagi mereka rumah merupakan ungkapan alam khayal dalam wujud nyata yang mewakili alam semesta, serta adanya bayangan dan mitos terhadap sesuatu (dewa-dewa) yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang mengatur alam ini sudah meliputi alam pikirannya. Oleh karena itu, membangun sebuah rumah berarti menciptakan sebuah ”alam kecil” di alam semesta, sehingga dianggap memulai hidup baru (Said, 2004: 49).
Uraian di atas menunjukkan pentingnya arti rumah bagi suatu masyarakat. Dengan kata lain, rumah bukan sekedar hasil budaya jasmani/bendawi saja, tetapi juga berhubungan dengan berbagai pengetahuan tentang teknik, politik, sosial, ekonomi, kepercayaan, hukum, politik, aspek kejiwaan, sejarah, dan aspek-aspek pengetahuan lainnya (Soekiman, 1986: 6). Singkatnya, pengetahuan tentang rumah mencakup suatu pengertian yang membutuhkan pemahaman secara luas dan mendalam.
Pada masyarakat Kudus rumah merupakan salah satu dari hasil kebudayaan materi yang dihasilkan dari proses panjang kebudayaan masyarakat tersebut. Keberadaan rumah tradisional di Kudus memiliki keberagaman, yaitu rumah Pencu dan rumah Payon (rumah Payon Limasan Maligi Gajah dan rumah Payon Kampung)2.
Persebaran rumah Pencu yang terdapat di Kudus tersebar di wilayah Kudus Kulon dan Kudus Wetan3. Di Kudus Kulon kondisi eksisting rumah Pencu sekarang ini masih bisa dijumpai dengan jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan kondisi eksisting rumah Pencu di daerah Kudus Wetan. Adanya perbedaan jumlah yang sangat signifikan tersebut sangat erat kaitannya dengan perkembangan lingkungan dan tata ruang dikedua wilayah tersebut. Di Kudus Kulon kondisi lingkungannya relatif tidak banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun, sedangkan di Kudus Wetan perubahan lingkungannya begitu pesat.
Tritisan dan gebyok pembatas dengan ruang jogosatru yang terdapat di rumah Pencu
Berbeda dengan kondisi di Kudus Kulon, perkembangan pemukiman di Kudus Wetan sudah banyak dipengaruhi unsur-unsur kolonial. Kudus Wetan sekarang ini merupakan pusat pemerintahan kabupaten Kudus, baik pada zaman Hindia Belanda maupun setelah kemerdekaan. Daerah ini pada zaman Belanda merupakan tempat pemukiman orang-orang Eropa dan perkampungan Cina. Di sepanjang alun-alun menuju arah timur terdapat pemukiman orang-orang Belanda. Kudus wetan mempunyai alun-alun yang biasa disebut Simpang Tujuh. Di sebelah barat alun-alun terdapat masjid besar dan di sebelah utaranya terpat kantor dan rumah kediaman Bupati Kudus (Wardani, 1991: 33).
Di wilayah Kudus Kulon inilah terdapat puluhan rumah Pencu yang masih bisa dijumpai keberadaannya. Sedangkan keberadaanya di wilayah Kudus Wetan relatif sedikit jika dibandingkan dengan daerah Kudus Kulon.
Rumah Pencu merupakan salah satu bagian dari hasil budaya materi yang berasal dari masyarakat Kudus pada masa lalu. Identitas mengenai tingkat budaya masyarakatnya tercermin melalui arsitektur, ragam hias serta konsepsi yang melatarbelakangi rumah tersebut.
Masyarakat Kudus memiliki cara tersendiri dalam merawat rumah tinggalnya yang berupa rumah kayu tersebut dari beberapa generasi yang lampau. Kearifan lokal tersebut terihat dari bagaimana masyarakat Kudus mengkonservasi rumah Pencu yang berbahan utama kayu dengan ramuan tradisional dari leluhur mereka.
Rumah tradisional Jawa memilki jangka waktu yang sangat panjang dalam perjalanan konstruksi bangunannya, hal ini terkait dengan perhitungan yang yang sangat tepat terhadap kemungkinan kerusakan yang bisa terjadi pada rumah tersebut. Faktor lingkungan dan alam beripa cuaca, binatang (serangga), tumbuhan lumut, dan zat pembusuk merupakan potensi yang sangat kuat dalam bertahannya rumah tradisional. Masyarakat Jawa membiasakan diri melindungi kayu dari dengan menempatkannya di dalam atau di bawah atap, sehingga terhindar dari hujan dan panas secara bergantian, namun dengan kondisi yang tetap kering. Untuk menjaga agar kondisi tetap dalam keadaan kering dan terjaga dari kelembaban maka bahan bangunan  yang terbuat dari kayu ditempatkan sedemikian rupa sehingga tetap mendapatkan hembusan angin dengan bebas (Ronald, 1990: 605)
Terhadap pengaruh cuaca, terdapat upaya yang dilakuakan oleh masyarakat tradisional Jawa dalam melakukan pengawetan secara alamiah yaitu dengan merendam bahan-bahan bagunan (kayu) terlebih dahulu ke dalam air kolam atau sungai. Proses perendaman tersebut merupakan proses yang dilakukan secara organik. Serangga memilki peran yang cukup besar dalam proses kerusakan rumah yang terbuat dari bahan kayu, kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan serangga tersebut berupa luka penggerakan yang dapat merusak permukaan bahan atau bagian dalam bahan bangunan. Akibat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga tersebut akan memperlemah daya dukung bahan terhadap beban. Pengawetan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh serangga juga banyak dilakukan dengan proses organik, yang dapat memperkecil kemungkinan kerusakannya (Ronald, 1990: 257).
Pada rumah tradisional Kudus khususnya rumah Pencu, perawatan terhadap komponen bangunan yang sebagian besar terbuat dari bahan kayu sangat diperhatikan. Terdapat beberap tahapan dalam prosesi perawatan dalam rumah tradsional tersebut. Sedangkan dalam masyarakat Kudus Kulon telah terdapat sebuah profesi yang memang khusus dalam penanganan perawatan rumah kayu dan ukir.
Proses perawatan rumah Pencu ataupun rumah tradisional pada dasarnya memiliki kesamaan. Proses perawatan rumah Pencu dilakukan oleh masyarakat pemiliknya sendiri dengan cara tradisional dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Proses perawatan rumah tersebut menggunakan beberapa ramuan tradisional yang biasa terdapat di lingkungan sekitar rumah atau wilayah Kudus Kulon. Beberapa ramuan yang dipergunakan dalam perawatan rumah Pencu adalah rendaman pelepah pisang atau lebih dikenal dengan sebutan air pelepah pohon pisang dan tembakau (APT), air merang, dan air rendaman cengkeh (ARC).
Proses perendaman ramuan tersebut berbeda-beda waktunya dan yang paling singkat adalah rendaman air merang dan air pelepah daun pisang-tembakau yang rata-rata memakan waktu sekitar 7 hari, sedangkan rendaman air cengkeh lebih dari 7 hari. Proses pencucian rumah berlangsung bisa berlangsung 2 bulan atau lebih, hal ini disebakna oleh tingkat kemampuan ekonomis setiap pemiliki rumah dalam memperkerjakan ahli perawatan rumah Pencu. Menurut bapak Sariyon, salah satu orang yang berprofesi dalam merawat atau mencuci rumah tradional Kudus atau rumah Pencu, hanya orang-orang tertentulah yang bisa mencuci rumah Pencunya, dan biasanya setiap tahun berlangsung dua kali proses pencuciaannya. Penggunaan ramuan tersebut terbukti efisien dan efektif mampu mengawetkan kayu jati, bahan dasar Rumah Adat Kudus, dari serangan rayap (termite) dan sekaligus meningkatkan pamor dan permukaan kayu menjadi lebih bersih, karena ramuan APT dan ARC dioleskan berulang-ulang ke permukaan dan komponen-komponen bangunan kayu jati.
Bertahannya rumah Pencu sampai sekarang ini tidak terlepas dari adanya proses kesinambungan budaya dalam pelestariaanya. Hal ini tidak terlepas dari adanya kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat pendukung dari budaya material tersebut.  Kearifan lokal atau sering disebut dengan local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama (E. Tiezzi, N. Marchettini,dan M.Rossini, yang terdapat dalam http://library.witpress.com/pages/paperinfo.asp). Kesinambungan budaya tersebutlah yang menciptakan  adanya tatanan dan cara tersendiri dalam upaya melestarikan rumah tradisional Kudus (rumah Pencu) dengan konservasi berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Kudus Kulon.
Kearifan lokal dalam segi konservasi rumah yang dimiliki oleh masyarakat Kudus Kulon merupakan satu kesatuan atau keseluruhan dari aspek teknomik, sosioteknik, dan idioteknik dari Rumah Pencu yang terbentuk sebagai akibat endapan evolusi kebudayaan manusia yang mengalami proses akulturasi secara terus menerus dan terbentuk karena perkembangan daya cipta masyarakat pendukungnya. Hasilnya adalah sebuah arsitektur rumah tinggal yang sangat megah, indah, sarat dengan makna dan nilai-nilai sosio-kultural.yang tidak terdapat di daerah-daerah lain di Indonesia. Arsitekturnya merupakan sebuah bagian dari adanya proses percampuran kebudayaan, dan berhasil menghadirkan warna khas suatu rumah tradisional.

_________________________________________________________________________________
1.        Tradisi memiliki pengertian adat kebiasaan (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Tradisi juga dapat diartikan sebagai penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (KBBI Daring 2008).

2.        Rumah tradisional di Kudus
a.        Rumah Pencu
Bentuk bangunan rumah ini adalah beratap Pencu dengan tritisan yang berada di depan dan pelakang yang lebar. Merupakan bangunan yang termasuk dalam tipe Joglo yaitu Joglo Kepuhan sub tipe Joglo Kepuhan Limolasan. Pembagian ruang dalam rumah tradisonal Pencu adalah sebagai berikut, jogosatru, senthong, gedongan, pawon, pakiwan  (kamar mandi).
a.        Rumah Payon
Rumah Payon merupakan rumah tradisional masyarakat Kudus yang berasal dari strata sosial menengah sampai bawah. Secara arsitektural rumah Payon cukup berbeda dengan rumah Pencu, hal ini dikarenakan tidak terdapat adanya ukiran yang raya seperti yang terdapat di rumah Pencu. Pembagian tata ruang pada rumah Payon sama dengan yang terdapat pada tata ruang rumah Pencu yaitu terdapat jogosatru, senthong, gedongan, pawon, pakiwan  (kamar mandi). Di dalam perkembangannya rumah Payon terbagi menjadi dua tipologi atap bangunan, yaitu :
-            Rumah Payon Limasan Maligi Gajah
Rumah tradisional beratapkan limasan yang bertipe Limasan Maligi Gajah. yang merupakan rumah dari golongan menengah.
-            Rumah Payon Kampung
Bentuk rumah kampung/payon adalah bertipe atap kampung. Rumah tersebut merupakan rumah yang berasal dari golongan menengah ke bawah.


Kepustakaan :
Said, Abdul Azis. 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan Perubahan Aplikasinya Pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukung di Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Ronald, Arya. 1990. Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Read more…

Selasa, 02 Desember 2008

Dipa di Lihat dari Bentuk dan Fungsinya Pada Kebudayaan Jawa Kuna


Dipa atau lampu merupakan salah satu artefak yang terbuat dari logam perunggu, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada dipa yang terbuat dari tanah. Penggunaan dipa dalam masyarakat sangat dipengaruihi oleh tingkat strata dan status sosial yang ada pada masyarakat, mungkin terdapat golongan masyarakat yang memiliki dipa dengan bahan logam dan mungkin masyarakat yang kurang mampu atau masyarakat rendah menggunakan dipa yang tidak terbuat dari logam.

Bagian-bagian penting dari dipa adalah tempat minyak dan tempat subu. Bentuk artefaktualnya dan cara peletakannya ada dua yaitu, dipa gantung, dipa berdiri. Ada tiga motif pada penggunaan tempat minyaknya yaitu, motif flora, motif fauna, dan motif manuasia. Sedangkan jika dilihat dari jumlah sumbunya dipa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang bersumbu tunggal dan bersumbu banyak (dua, tiga, empat, atau lima).

Pada tipe dipa dengan cara peletakannya baik secara gantung dan berdiri memiliki bentuk-bentuk yang khusus dan memiliki ciri yang khusus. Tipa gantung memiliki baberapa bentuk, yaitu:
1. Lampu gantung bentuk burung garuda
2. Lampu gantung bentuk burung
3. Lampu gantung bentuk kinari
4. Lampu gantung bermotif suluran

Sedangkan tipe berdiri adalah sebagai berikut :
1. Lampu berdiri bentuk mangkuk bertangkai
2. Lampu berdiri bentuk padma
3. Lampu berdiri berujung lingga
4. Lampu berdiri bentuk manusia
5. Lampu berdiri bentuk gajah
6. Lampu berdiri bentuk ketonggeng

Dari beberapa contoh diatas bahwa para pande perunggu dalam menciptakan bentuk lampu memadukan unsur-unsur teknis dan estetis. Hal ini terlihat pada bentuk tempat minyak dan sumbu. 

Pada lampu yang memiliki bentuk binatang, anggota tubuh binatang tersebut sekaligus difungsikan secara teknis, misalnya tubuh gajah yang berlubang diperuntukkan untuk tempat minyaknya sedangkan sumbunya ditempatkan pada belalainya. Pertimabangan dari segi estetis tersebut masih diperkuat lagi pada motif hiasan yang berupa flora dan fauna. Di dalam karya sastra dipa memiliki pengertian dan makna tertentu yang berkaitan dengan fungsinya, yang tercerminkan lewat model dan motifnya. Makna-makna tersebut dapat dilihat dari penggunaan lambang yang berupa flora dan fauna, yaitu:
  1. Kinnari dan kinara yang merupakan sejenis makhluk surga, yang pada asalnya adalah seorang manusia berkepala kuda., dan kemudian diwujudkan sebagai makhluk berkepala manusia berbadan burung. Dalam dunia kedewaan kinara adalah pemusik dan penyanyi bagi para Dewa. 
  2. Motif gajah yang terdapat pada dipa memiliki makna yang sakral, hal ini dikarenakan gajah dalam agama Budha merupakan simbol kekuatan, kejantanan, dan juga simbol kebijaksanaan. Sedangkan dalam agama Hindu, gajah dianggap sebagai benda yang membawa keberuntungan (astamangala) yang dipergunakan dalam upacara penobatan raja. 
  3. Garuda, binatang ini pada mulanya dianggap sebagai simbol dari matahari, dan garuda merupakan kendaraan dari dewa Wisnu. 
  4. Linga – Lingodbhayamurti, merupakan simbol dari dewa Siwa dan identik sekali dengan kesuburan.
Sumbu yang dipergunakan dalam dipa ini juga memiliki fungsi dan makna trsendiri. Lampu yang bersumbu 5 adalah lampu yang sangat suci dan dipergunakan dalam pemujaan dewa Siwa karena angka 5 merupakan angka suci bagi Siwa. Lampu yang bersumbu 4 memiliki pengertian bahwa lampu ini merupakan lampu yang dipergunakan dalam Sivapuja makna bahwa sumbu yang berjumlah 4 disempurnakan dengan sinar yang ke- 5 yang diwujudkan dalam bentuk lingga sebagai pusat yang dikelilingi oleh 4 sinar. Pemilihan jumlah sumbu yang berjumlah 3 mungkin ditandai bahwa angka 3 merupakan angka yang keramat dan juga dihubungkan dengan 3 dewa (Trimurti) ; Siwa, Brahma, Wisnu.

Adanya aspek ideoteknik tercermin pada artefak ini, yaitu pada dipa yang cara pengguanaannya digantung (lampu gantung). Hal ini erat sekali kaitannya dengan sistem ideologi atau keagamaan yang ada pada masa itu. Pengguanaan dipa pada masa Jawa Kuna bukan semata-mata sebagai alat penerang saja (artefak) yang digunakan dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu, karena perunggu yang dipergunakan sebagai bahan dasar pembuatan dipa (lampu) tersebut merupakan bahan yang cukup mahal pada saat itu. Sehingga kepemilikan dipa tidaklah sembarangan dan kemungkinan hanya dimiliki oleh Raja dan golongan tertentu dan dengan kepentingan tertentu pula. Hal inilah yang mendorong adanya nilai prestisius dalam kepemilikan benda ini.


Daftar Pustaka
Haryono, Timbul. 1989. Laporan Penelitian : Dipa, Bentuk Artefaktual dan Fungsinya Dalam sistemn Budaya Masyarakat Jawa Kuna. Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM

Read more…

Senin, 03 November 2008

Berbagai Bentuk Atap Rumah Jawa

Dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, manusia tak lekang dari ketersediaan tempat untuk berlindung, baik dari segi psikologis (batin) dan dalam segi lahiriah. 

Di dalam masyarakt Jawa bangunan jawa / rumah memilki beberapa fungsi yaitu sebagai rumah tempat tinggal, tempat ibadah, tempat bermusyawarah,dan tempat penyimpanan. Masing-masing rumah tersebut memiliki fungsi yang tentunya berbeda, tergantung bagaimana tempat tersebut didirikan. Sangat wajar sekali apabila rumah-rumah tersebut dengan berbagai macam fungsinya memiliki keterkaitan dengan keberadaan atap atau dalam keseharian orang Jawa sering menyebutnya dengan sebutan payon. 

Atap/payon merupakan elemen yang sangat penting dalam konstruksi arsitektur rumah Jawa. Biasanya kerangka atap dibuat dari kayu jati, glugu, dan nangka. Kerangka meliputi blandar, ander, dudur, usuk, molo, dan reng.

Sedangkan dari segi pekembangan bentuk dari rumah tersebut, memilki beberapa jenis. Antara lain bentuk tunggangpe, limasan, kampung, joglo, dan tajug. Khusus untuk bentuk tajug dalam aplikasinya tidak dipakai sebagai rumah tempat tinggal, melainkan sebagai tempat ibadah. Sedangkan bentuk lainnya biasanya lazim kita temui dalam atap rumah tempat tinggal.

Read more…

Rumah Tradisioanal Kudus (Lebih dari Sekedar Rumah dan Tempat Tinggal melaikan Sarana Pemersatu Kebudayaan)

Jika kita main ke kota kudus pasti yang terbayang di otak kita adalah tembakau atau rokok. Well, mungkin tepat sekali. Karena di kota ini terdapat ratusan pabrik rokok dari yang levelnya home industry sampai pada taraf yang benar-benar industri besar. Contohnya adalah PT. Djarum Kudus Tbk. Kita semua pasti suadah tahu dan dalam kepal kita sudah ter"mainsite" tentang rokok tersebutm karena iklannya dapat dengan mudah kita jumpai.

Kudus adalah kota kecil yang mungkin luasnya hampir sama dengan Singapura atau Batam. Selain rokok juga terdapat warisan budaya yang masih hidup "living herutage" antara lain kuliner. kita bisa menjumpai soto Kudus dan juga Lentog Tanjung, serta tak ketinggalan Jenang Kudusnya yang telah mendunia dan "ngepop" di telinga khalayak ramai.

Selain Rokok dan aneka warisan kuliner yang menjadikan ciri khas kota tersebut, ternyata masih tersimpan satu tinggalan kebudayaan yang tak kalah dalam nilai kebudayaannya, yaitu Rumah Tradisional Kudus.

Rumah tradisional Kudus memiliki karakteristik yang unik sekali bila kita membandingkan dengan "rumah jawa" kebanyakan. Jika kita melihat rumah Tradisional yang berada di Jogjakarta kita bisa berpendapat bahwa rumah yang satu ini berbeda dan agak lain.
Sejarah lahirnya rumah tradisional Kudus tersebut erat kaitannya dengan letak geografis dan kondisi historis dari kota ini. Letak kota Kudus yang berada di pesisir utara Pulau Jawa mendorong terbukany interaksi yang lebih kompleks dengan budaya yang datang dari luar. Munculnya rumah tardional kudus sangat terkait dengan perkembangan kota tersebut pada era Wali Songo yang pada saat itu (abad 14-15 M), terdapat salah seorang anggota dari Wali Songo yang bernama Syekh Ja'far Shadiq yang bermukim di Kudus, tepatnya di wilayah Kudus Kulon.

Perkemabngan kota dan pemukiman yang sangat pesat, mebuat wilayah tersebut tidak hanya dihuni oleh orang lokal saja melainkan sudah terdiri dari beberapa etnis. Antara lain adalah etnis Jawa, China, dan Arab yang dominan. Alhasil Akulturasi kebudayaanpun terjadi pada elemen kehidupan yang ada pada masa tersebut. Adanya rumah atau tempat tinggalpun tak terelakkan dari adanya proses akulturasi tersebut.

Kita bisa menjumpai berbagi ornamen arsitektur yang terdapat di rumah tradisional Kudus, mulai dari ukiran, arsitekturalnya, dan juga fungsi ruang yang telah mengalami akulturasi kebudayaan. Adanya ukiran naga dapat dilihat bahwa binatang mitologi tersebut bukan dari Jawa melainkan dari China, dan juga adanya motif ukiran sulur-suluran adalah pengaruh dari perkembangan masuknya Islam.

Jadik ita bisa melihat dan belajar dari berbagai macam kearifan lkal yang telah terbangun lebih dari 5 abad yang lalu dengan melihat bangunan yang berupa rumah tradisonal Kudus yang terkandung berbagai macam makna simbolis. Dengan memperhatikan berbagi macam fenomena yang terkait dengan kearifan lokal yang telah dibangun oleh nenek moyang kita , alahngkah baiknya jika kita bisa belajar dai masa lampau untuk mempelajari masa depan

Read more…